Minggu, 22 Agustus 2010

Misi Hidup untuk Manusia Seutuhnya

Oleh: M. Hasan Darojat

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin mengesalkan juga ketika kita menghadapi suatu konflik dengan keluarga atau kerabat untuk berharap banyak diri kita dipahami. Faktanya, kita hanya akan terus merasa tidak bahagia & selalu marah. Emosi menjadi tidak tertahankan dan meletup-letup bagai aktivitas gunung berapi yang sedang kritis.



Mungkin ini sebuah indikasi bahwa ”misi” dalam diri ini telah rapuh. Padahal, ”misi” inilah yang membuat kita ingin memulai mencoba memahami orang lain daripada menghabiskan pikiran & perasaan untuk berharap dipahami orang lain.

Ternyata memang di sinilah letak rasa ”bahagia” yg sesungguhnya ketika kita berjalan di dunia ini bersama misi itu. Kebahagiaan akan terasa ketika kita ”memberi”. Kebahagiaan tidak akan terasa ketika pikiran kita diisi dengan sikap ”berharap diberi” yang terlalu berlebihan. Dan semua sikap itu hanya akan ada ketika ”misi” itu tergambar jelas dalam pikiran dan terisi dalam hati. Apapun respon/tanggapan orang lain nantinya, positif atau negatif, itu tidak akan menggoyahkan keteguhan keyakinan dan menghilangkan manisnya hidup dengan ”misi” itu.

Lalu apakah sebenaranya ”misi” itu dan seberpa pentingkah ia?

”Misi” itu datang dari perenungan yang jernih yang menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang arti dari hidup ini. Pemahaman itu nantinya akan menunjukkan kepada kita, apa tujuan hidup ini. Tujuan hidup itu nantinya akan mengarahkan kepada kita, bagaimana seharusnya kita hidup. Oleh karena itu, kita bisa mengambil pelajaran bahwa orang yang tidak mempunyai konsep yang jelas tentang bagaimana hidup ini harus dijalankan dan bagaimana segala problematika dalam hidup ini seharusnya dipecahkan (menyangkut pedoman mutlak apa yang harus dipegang di dunia yang rapuh dan selalu berubah ini), itu menunjukkan bahwa dia tidak bisa menggambarkan dengan jelas sejelas-jelasnya tentang apa tujuan hidupnya. Ketika orang itu tidak bisa menggambarkan dengan jelas apa tujuan akhir hidupnya itu, maka itu menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui dengan pemahaman yang jernih tentang arti dari keberadaannya di kehidupan yang nisbi ini.

Pemahaman ini didasarkan pada perenungan kita tentang kehidupan, alam semesta tempat kita tinggal, dan perenungan tentang jati diri kita sendiri sebagai manusia dan dihubungkan dengan perenungan tentang apa yang terjadi sebelum kita dilahirkan dan apa yang akan terjadi setelah kita meninggalkan kehidupan ini yang nantinya akan membawa pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu Esa, Tuhan mengutus utusannya untuk menjadi model manusia panutan, dan Tuhan menurunkan pedoman hidup yang memiliki kebenaran mutlak untuk mengatur hidup ini.

Tuhan berfirman bahwa tujuan penciptaan kita ini tidak lain hanyalah untuk ibadah. Ya, Ibadah adalah ”misi” itu. Sebagaimana kita tahu, bahwa sesuatu yang diciptakan itu akan berjalan baik ketika dia sesuai dengan tujuan apa dia diciptakan. Sebuah motor akan beroperasi seoptimal mungkin bila motor itu dipakai sesuai tujuannya, yaitu sebagai kendaraan. Motor itu tidak akan beroperasi dengan optimal bila tidak sebagai kendaraan. Motor itu tidak akan beroperasi dengan optimal jika dipakai untuk atap rumah, atau untuk pengganjal pintu misalnya.

Maka bila kita mencoba untuk memikirkan lebih mendalam tentang ungkapan dari Tuhan tentang tujuan penciptaan dan penggambaran tentang tujuan penciptaan itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia juga sebagaimana motor, akan beroperasi dengan optimal jika bekerja sesuai dengan tujuannya diciptakan, dan tujuan penciptaan manusi itu adalah untuk ”beribadah”. Lalu dari itu kita mengetahui bahwa fitrah manusia adalah ”beribadah” kepada Allah. ”Keadaan normal” dari seorang insan yang hidup di dunia ini adalah ketika dia ”beribadah” dan keadaan yang optimal sebagaimana motor yang optimal bila dioperasikan untuk berkendaraan, maka keadaan optimal bagi seorang insan adalah ketika dia beroperasi dengan semestinya yaitu ketika dia ”beribadah”. Ada satu ungkapan yang menarik, yaitu
حياتنا كلّها عبادة
”Hidup kami seluruhnya adalah ibadah.”

Ketika kita mencoba untuk memperlakukan seluruh waktu kita untuk beribadah, maka itu artinya, kita memperlakukan seluruh waktu hidup kita sesuai dengan kondrat kita dan sesuai dengan fitrah kita. Dengan kalimat lain, itu artinya adalah kita sepanjang waktu menjadi ”manusia seutuhnya” atau ”manusia sejati” karena dioperasikan sesuai tujuannya sepanjang waktu, tidak pada waktu-waktu tertentu saja.

Lalu, apakah sebenarnya ”ibadah” itu?
Apa sebenarnya makna yang hakiki dari ”ibadah” itu?

Tuhan berfirman bahwa, manusia di dunia ini diberi sebuah tugas, yaitu sebagai Wakil pemakmur bumi (Khalifah fil Ard). Karena tugas itu, manusia diberi kelebihan yang membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya. Selain mempunyai nafsu, manusia juga deberi satu perangkat yang sangat istimewa. Perangkat itu adalah akal. Maka makna ibadah ini tidak hanya disempitkan sebagai ibadah ritual saja. Kita hanya memahami bahwa ibadah ritual itu hanya untuk menjadi pilar-pilar yang sangat penting untuk terus menjaga kesadaran kita untuk terus mengingat jati diri ini. Akan tetapi, apakah seseorang disebut sholat khusyu jika dia masih suka menyulut permusuhan dengan orang lain dan suka memutuskan silaturahmi orang lain? Apakah puasa seseorang disebut ”ibadah mabrur” jika dia masih membiarkan ketidakadilan di sekitarnya? Apakah zakat seseorang disebut ”ibadah mabrur” jika dia masih suka menghambur-hamburkan uang? Apakah seorang yang berangkat haji disebut ”beribadah mabrur” ketika tetangganya dibiarkan mati kelaparan karena sudah 5 hari tidak bisa makan? Jadi sesempit itukah makna ”ibadah itu?

Ketika kita ingin mencoba untuk memakmurkan dunia maka hal yang tidak bisa dihindari adalah kita harus ”memimpin” & memperbudak alam ini untuk ”misi” tersebut, sehingga hasilnya adalah gambaran tataran kehidupan dan peradaban di dunia ini akan senantiasa tersirami rahmat ilahi. Hal yang tidak boleh terjadi adalah malah sebaliknya. Manusia malah diperbudak oleh alam (harta, tahta dan wanita/laki-laki). Makna ”diperbudak oleh dunia” ini artinya hawa nafsunya lebih didahulukan ketimbang kesadaran akan ”misi” tersebut. Memang benar bahwa kita tidak bisa lepas dari ”materi” yang pengaruhnya bagi kita adalah pada hawa nafsu kita, itu selalu berikatan dengan kita. Oleh karena itu, bisa diibaratkan, bahwa orang yang berhasil menguasai dan memperhamba alam ini itu ibarat orang yang bisa mengendalikan kuda yang liar yang terikat ke tubuhnya. Dia bisa menggunakan kuda itu dengan optimal. Sedangkan orang yang diperhamba nafsunya (dengan perantara harta, tahta dan wanita/laki-laki), itu ibarat orang yang tidak bisa mengendalikan kuda liar yang terikat ke tubuhnya dan akhirnya dia terpental ke sana ke mari, terlempar ke sana ke mari dan akhirnya terlempar dengan sangat keras menuju kecelakaan.

Apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu ini kiranya adalah merupakan jawaban, kenapa Tuhan memberikan akal kepada kita.

Untuk memakmurkan dunia ini, kita tidak hanya diberi akal, tapi juga diberi sesuatu untuk dijadikan pedoman akal itu digunakan supaya proses berpikirnya bisa terstruktur dan tidak mengawang ke mana-mana tanpa aturan. Itulah pedoman yang dibawa oleh utusan Tuhan di muka bumi ini yang harus diikuti. Kitabullah SWT dan Sunnah Rasulnya saw. Kedua pusaka itulah yang memberikan kebaikan pada alam semesta ini dengan subjek pelakunya adalah manusia. Oleh karena itu, akan timbul rasa bahagia dan nikmat bagi orang yang mengembannya dan menyampaikan kebaikan dari keduanya kepada dunia dan sesama manusia.

Pada akhirnya, ternyata, kebahagiaan yang hakiki & manisnya hidup ini hanya akan dirasakan oleh manusia yang memperjuangkan ”misi” yang diyakininya & ditetapkan dengan jelas sebagai kompas hidup dengan keyakinan bahwa inilah yang terbaik untuk manusia dan untuk alam semesta yang menjadi lahan tugas kita. Terlebih lagi, Tuhan memotivasi kita dengan ungkapan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada ”diri” mereka sendiri.

Oleh karena itu, nanti kita akan dapat mengetahui dengan jelas jawaban dari suatu pertanyaan. Apakah rasa sakit (pengorbanan) itu selamanya selalu menunjukkan kepada penderitaan ataukah justru suatu kenikmatan yang tiada tara?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar