Senin, 10 Oktober 2011

Islam dan Pluralitas


Oleh: Muhamad Hasan Darojat*
Pendahuluan
Dalam kehidupan ini, keberagaman merupakan suatu keniscayaan. Begitu juga dengan manusia, keberagaman itu ada pada manusia. Tidak ada dua atau lebih manusia yang memiliki kesamaan mutlak. Dengan kata lain, keberagaman adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Keberagaman ini tidak hanya pada satu hal, akan tetapi banyak hal yang membuat adanya keberagaman. Misalnya adalah keberagaman suku, ras, bangsa, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, pemikiran, agama dan keyakinan, dan lain-lain. Keberagaman yang seperti ini di sini disebut sebagai pluralitas.

Islam yang merupakan suatu agama yang ada dalam kehidupan pada satu titik tertentu berhadapan dengan kenyataan pluralitas ini. Yang menjadi pertanyaan adalah "Bagaimana Islam memandang pluralitas?" atau "Seperti apa konsep Islam dalam menghadapi kenyataan pluralitas ini?". Maka, untuk memperoleh jawabannya kita terlebih dahulu harus memahami Islam itu sendiri beserta karakteristik-karakteristik konsepsinya. Hal ini nantinya akan membawa kita pada pemahaman yang benar tentang bagaimana Islam memandang pluralitas.


Sebagaimana yang ditegaskan Sayyid Quthb dalam karya monumentalnya, Khashaisha Tashawwuri l-Islam, bahwa Islam adalah agama yang memiliki karakteristik sempurna dan menyeluruh.[1] Islam memiliki konsep tersendiri mengenai segala pengaturan yang ada. Maka dalam menghadapi kenyataan pluralitas ini pun Islam memiliki konsep tersendiri yang khas. Maka, dalam memandang pluralitas manusia, Islam memiliki pengaturan dalam tiga jenis pluralitas: Pluralitas jasadi, pluralitas pemahaman dan penafsiran ajaran Islam dan pluralitas penganut agama dan keyakinan.

Islam Memandang Pluralitas Jasadi
Pluralitas Jasadi atau pluralitas dari segi fisik adalah suatu keniscayaan yang diakui juga oleh Allah Swt. dan merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya.Allah Swt. berfirman
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Wahai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."[2]
وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."[3]
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil pengertian bahwa dalam hal ini Islam tidak mempermasalahkan perbedaan jasadi, karena Islam hanya memandang tingkat ketakwaan. Kemudian permasalahannya adalah apa makna dari takwa itu.

Imam Nawawi menjelaskan makna takwa ialah bahwa takwa itu adalah mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maka orang yang menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya berarti orang yang mengetahui dengan pengetahuan yang luas mengenai apa saja yang diperintah dan apa saja yang dilarang. Akan tetapi, seorang manusia tidak akan mau untuk mencari tahu segala perintah dan larangannya dan mematuhinya sebelum dia mempunyai alasan yang jelas mengapa dia melakukan itu. Oleh karena itu, kita menemukan bahwasanya ketakwaan itu haruslah didasari oleh pembenaran secara rasional oleh akal dan kesesuaian dengan fitrah tentang kebenaran Akidah Islam yang selanjutnya akan mengantarkan kita pada kemauan dan motivasi untuk mematuhi perintah dan larangannya. Oleh karena itu, di dalam Qur'an kata takwa sering didahului oleh kata iman.

Dari penjelasan di atas, ringkasnya adalah bahwa derajat kemuliaan seseorang dalam pandangan Islam adalah bukan derajat materi atau derajat lainnya, akan tetapi derajat ketakwaannya kepada Allah Swt. yang terwujud dalam keimanannya kepada Allah dan usahanya untuk memahami  dan mematuhi perintah dan larangannya. Inilah pluralitas ajaran Islam yang menyangkut keberagaman jasadi.

Islam Pluralitas Pemahaman dan Penafsiran Ajaran Islam (Ikhtilaf)
Selain pluralitas jasadi, di dalam Islam juga terdapat keberagaman pemahaman atau penafsiran ajaran Islam. Akan tetapi, keberagaman dalam penafsiran ajaran Islam ini tidak semuanya ditolelir oleh Islam. Islam mentolelir perbedaan dalam masalah cabang ajaran Islam dan tidak mentolelir perbedaan dalam masalah pokoknya.

Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy dalam kitabnya, Fiqh as-Sirah mengemukakan, "usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat pendapat (khilafiyyah) dalam masalah-masalah furu' (cabang) adalah bertentangan dengan hikmah rabbaniyyah dan tadbir (rekayasa) ilahi dalam syariat-Nya, di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan. Sebab, bagaimana Anda akan menghapuskan adanya perbedaan pendapat selama dalilnya bersifat zhanniy dan mengandung beberapa kemungkinan (muhtamal)? Seandainya hal itu mungkin terjadi pada suatu masa, niscaya sudah terjadi di masa Rasulullah saw. dan orang yang paling tidak pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para Shahabat. Tetapi ternyata mereka juga berselisih pendapat sebagaimana Anda lihat dalam peristiwa ini." Perbedaan masalah cabang misalnya, misalnya pemakaian Qunut dalam Shalat Subuh, menggerak-gerakkan telunjuk ketika tahiyyat, dan lain-lain. Perbedaan hal ini disebabkan karena perbedaan hasil daripada proses ijtihadnya.

Perbedaan dalam masalah pokok ajaran Islam adalah perbedaan yang tidak ditolelir oleh Islam. Itu karena perbedaan ini menyangkut identitas daripada Islam itu sendiri. Perbedaan masalah pokok di antaranya adalah ajaran akidah Islam (tentang ketuhanan Allah, keesaan-Nya, rukun Iman, Muhammad sebagai nabi terakhir, dan lain-lain) dan penerapan ajaran Islam secara keseluruhan. Misalnya penganut Ahmadiyyah yang menganut kepercayaan adanya nabi baru setelah Muhammad saw. dihukumkan kafir. Atau misalnya seorang muslim yang dengan tegas dan sadar mengingkari syariat Islam baik dalam satu segi maupun pada seluruh segi kehidupan bisa dihukumkan kufur. Kalau orang itu mengimani pada syariat Islam itu sendiri akan tetapi pada praktiknya tetap melanggar syariat, maka dia tidak sampai terkategori kafir, tetapi hanya disebut bermaksiat. Allah Swt. berfirman
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاُلئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang yang kufur."[4]
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاُلئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang yang dzalim."[5]
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاُلئِكَ هُمُ الفَاسِقُوْنَ
"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang yang dzalim."[6]
فَلَا وَ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِى اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."[7]
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
"Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), "Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya." Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali."(Q.S. Al-Baqarah:285)
اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضِ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيوةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ اِلى اَشَدِّ الْعَذَابِ
"Apakah kamu beriman kepada sebagian dari al-Kitab sedangkan kamu kufur kepada sebagian yang lainnya? Maka tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu melainkan kenistaan di kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada adzab yang paling berat."[8]

Oleh karena pluralitas dalam penafsiran ajaran agama Islam adalah perbedaan dalam konteks ijtihad. Dalam perbedaan ijtihad, yang ijtihadnya benar akan memperoleh dua pahala, sedangkan yang ijtihadnya salah akan memperoleh satu pahala. Sebab perbedaan penafsiran itu di antaranya berkaitan dengan perbedaan kuantitas dalil-dalil yang diterima, perbedaan data tentang informasi mengenai kualitas keshahihan hadis dan perbedaan titik tolak dalam memahami sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan dalam perbedaan masalah pokok (ushul, tsawabit, qath’i), maka ketika benar dia dikatakan beriman dan muslim, sedangkan kalau menyimpang dia dikatakan kafir  dan selama orang itu belum sadar dan bertaubat, maka pada Hari Kiamat dia akan dimasukkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya.

Islam Memandang Pluralitas Penganut Agama dan Keyakinan
Islam memandang pluralitas dalam penganut agama dan keyakinan ini terwujudkan dalam hubungan antara umat Islam dengan masyarakat non-muslim.

Hubungan itu ada dua. Yang pertama adalah hubungan yang berkaitan dengan dakwah (kontak dakwah) dan yang kedua adalah hubungan yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat dalam bingkai kenegaraan di mana Islam adalah sebagai landasan pemerintahan yang subjeknya adalah umat Islam.

Mengenai hubungan yang pertama, yaitu kontak dakwah, dalam hal ini masyarakat non-muslim berhak untuk memperoleh dakwah (ajakan) kepada agama Islam, yaitu untuk menganut atau mengambil jalan hidup Islam. Islam mengatur bagaimana dakwah itu disampaikan kepada non-muslim, yaitu dengan mengajarkan aqidah dan ajaran Islam dan ajakan untuk memeprhatikan alam semesta ini yang merupakan ayat-ayat kauniyyah. Setelah ditampakkan bukti-bukti yang jelas tentang kebenaran Islam yang dilihat dari ajaran Islam dan ayat-ayat kauniyyah, masyarakat non-muslim tersebut diminta keputusannya, apakah ia memilih masuk Islam atau tidak. Jika ternyata dia tidak menghendaki masuk Islam, maka tidak ada paksaan di dalam agama. Allah Swt. berfirman
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
"Tidak ada paksaan dalam menganut agama (jalan hidup Islam)."[9]

Hubungan yang kedua berkaitan dengan pengaturan masyarakat muslim dan non-muslim dalam bingkai kenegaraan. Apabila kita baca dalam Piagam Madinah yang merupakan konstitusi negara Islam, pasal-pasanya menunjukkan pada pengaturan hubungan antaragama dalam rakyat Negara Islam yang dipimpin Rasulullah di Madinah.[10] Sebagai mana dijelaskan sebelumnya, Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh, artinya Islam mencakup segala pengaturan yang ada di kehidupan. Maka dalam pengaturan masyarakat, Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki penguasa yang menjalankan institusi kepemimpinan Islam yang khas yang memiliki fondasi Islam sehingga dia menerapkan ajaran Islam secara kaffah di dalamnya, bukan fondasi sekularisme dan liberalisme yang melahirkan bangunan sistem demokrasi yang merapuhkan hukum Islam. Oleh karena itu, para penguasa dapat disebut sebagai penguasa-penguasa Islam yang Islami ketika mereka dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa mendasarkan kekuasaannya dengan dasar Islam dan menerapkan fiqih pemerintahan Islam dalam sistem pemerintahan yang dipakainya.

Singkatnya, konsep Islam menghadapi pluralitas dalam keberagamaan manusia adalah bahwa Islam tidak mengenal pemaksaan dalam penerimaan keberagamaan Islam. Paksaan di sini bermakna bahwa keislaman itu tidak tumbuh dari kesadaran individu. Ketika Islam terwujudkan dalam sebuah institusi negara, maka Islam tidak memaksakan rakyatnya untuk menerima Islam dan Islam memiliki aturan bagaimana pemerintahan Islam mengatur hubungan antara Islam dan non-Islam dalam Negara Islam. Walaupun begitu, mekanisme dakwah atau ajakan kepada non-Islam itu akan senantiasa berlangsung dan harus terus berjalan, karena watak Islam adalah agama dakwah, atau memiliki karakter menyebarkan diri. Ketika dakwah dihalang-halangi dengan kekuatan fisik, misalnya pembunuhan dan siksaan, maka ia dilawan pula dengan angkat senjata oleh tentara Negeri Islam.

Kesimpulan
Fenomena pluralitas dalam masyarakat memang suatu keniscayaan dalam kehidupan ini. Islam sebagai suatu jalan hidup, memiliki ajaran yang mengatur masalah pluralitas ini dalam berbagai seginya. Oleh karena itu maka umat Islam harus senantiasa bergerak dan berartisipasi aktif dalam mematuhi ketentuan-ketentuan syariah yang ada ketika berhadapan dengan fenomena pluralitas ini. Untuk bisa mematuhi ketentuan-ketentuan tersebut, maka umat Islam harus mengkaji ajaran Islam secara mendalam dan menyeluruh. Akan tetapi semua itu tidak akan bisa terlaksana kecuali kalau umat Islam memiliki Iman yang kuat yang akan memotivasinya untuk melaksanakan semua hal itu.
Wallahu A’lam bi s-Shawab


* Mahasiswa S1 Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
[1] Sayyid Qutb, Khashaisha Tashawwuri l-Islam, translated into English, The Islamic Conception, http://www.islambasics.com, hal. 57-72
[2] Q.S. Al-Hujurat [49]: 13
[3] Q.S. Ar-Rum [30] : 22
[4] Q.S. Al-Maidah [5] : 44
[5] Q.S. Al-Maidah [5] : 45
[6] Q.S. Al-Maidah [5] : 47
[7] Q.S. An-Nisa [4] : 65
[8] Q.S. Al-Baqarah [2] : 85
[9] Q.S. Al-Baqarah [2] : 256
[10][10] Lampiran I dalam Ija Suntana, M.Ag, Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam (Bandung: PT Refika Aditama), hal. 115-119. Kemudian lihat di Piagam Madinah: Konstitusi Negara atau Bukan ? oleh Hafidz Abdurrahman,  Majalah al-Wa'ie No.93 Tahun. VIII (2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar